Awie Trans

Kamis, 11 September 2008

Patogenesis Sindrom Obstruksi

Patogenesis Sindrom Obstruksi
Pasca Tuberkulosis
Nur Aida
Bagian Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Unit Paru Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta
PENDAHULUAN
Sindrom obstruksi difus yang berhubungan dengan TB paru
dikenal dengan berbagai nama. Di Bagian Unit Paru RSUP
PersahabaUaa Jakarta, dikenal dengan nama TB paru dengan
sindrom obstruksi dan sindrom obstruksi pasca TB (SOPT).
Kekerapan sindrom obstruksi pada TB paru bervariasi antara
16%¬50%.
Patogenesis timbulnya sindrom obstruksi pada TB paru
yang mengarah ke timbulnya sindrom pasca TB sangat kom-
pleks; pada penelitian terdahulu dikatakan akibat destruksi ja-
ringan paru oleh proses TB. Kemungkinan lain adalah akibat
infeksi TB, dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan se-
hingga menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik yang luas
karena tertariknya neutrofil ke dalam parenkim paru makrofag
aktif. Peradangan yang berlangsung lama ini menyebabkan proses
proteolisis dan beban oksidasi sangat meningkat untuk jangka
lama sehingga destruksi matriks alveoli terjadi cukup luas me-
nuju kerusakan paru menahun dan mengakibatkan gangguan
faal paru yang dapat dideteksi secara spirometri.
Pada tulisan ini akan dibicarakan patogenesis sindrom
obstruksi pasca TB.
SINDROM OBSTRUKSI PASCA TB
Kelainan obstruksi yang berhubungan dengan proses TB
dikenal dengan berbagai nama. Cugger 1955 (dikutip dari 1)
menyebutnya emfisma obstruksi kronik. Martin dan Hallet
(2)
menggunakan istilah emfisema obstruksi difus. Bomberg dan
Robin
(3)
menyebutnya sebagai emfisema obstruksi difus; Vargha
dan Bruckner
(4)
menyebutnya sindrom ventilasi obstruksi;
Tanuwtharj menyebutnya sirldronrobstruksi difus
(5)
. Di Unit
Paru RSUP Persahabatan Jakarta kelainan obstruksi pada pen-
derita TB paru didiagnosis sebagai TB paru dengan sindrom
obstruksi, sedangkan kelainan obstruksi pada penderita bekas
TB paru didiagnosis sebagai obstruksi pasca TB (SOPT).
KEKERAPAN
Terdapar variasi kekerapan sindrom obstrtiksi difus yang
pernah diteliti (Tabel 1).
Tabel 1. Kekerapan Sindrom Obstruksi Difus pada TB
Peneliti Tahun
Kekerapan
Ref.
Cuggel
Gaensler
Martin dan Haller
Lancaster dan Tomasshesfki
Malik dan Martin
Snider et al
Tanuwiharja
Tanuwiharja
Sardikin Giriputro
1955
1959
1961
1963
1969
1971
1980
1988
1989
44 %
42,6 %
50,4 %
34
%
32
%
41,8 %
50,4 %
46,9 %
16,7 %
1
5
2
6
7
8
9
10
11
PATOGENESIS
Gangguan faal paru akibat proses tuberkulosis paru berupa
kelainan restriksi dan obstruksi telah banyak diteliti; kelainan
yang bersifat obstruksi dan menetap akan mengarah pada ter-
jadinya sindrom. obstruksi pasca TB (SOPT).
Destruksi parenkim paru pada emfisema menyebabkan
elastisitas berkurang sehingga terjadi mekanisme ventil yang
menjadi dasar terjadinya obstruksi arus udara
(3)
. Emfisema
kompensasi yang ditemukan pasca reseksi paru dan akibat
atelektasis lobus atas karena TB paru seharusnya tidak obstruktif.
Sedangkan Gaensler
(5)
dan Snider et al
(8)
menyatakan bahwa
kelainan obstruksi pada TB paru tidak berasal dari emfisema
kompensasi. Hirasawa (1965) (dikutip dari 8) tidak menemukan
perbedaan morfologik yang nyata antara jenis emfisema pada
kasus TB dan non TB, perubahan emfisema yang tidak merata
lebih menonjol pada TB dengan kesan sebagai efek lokal dalam

perkembangan emfisema.
Gaensler dan Lindgren
(5)
berpendapat bahwa bronkitis kro-
nis spesifik lebih mungkin merupakan faktor etiologi timbulnya
emfisema obstruksi pada tuberkulosis paru dibandingkan dengan
over distention jaringan paru di dekat daerah retraksi.
Bell
(11)
berhasil menimbulkan bula emfisematous pada ke-
linci yang ditulari mikobakterium tuberkulosis secara trakeal dan
menyimpulkan bahwa proses emfisema dimulai dengan destruksi
jaringan lalu diikuti ekspansi. Vargha dan Bruckner menyatakan
bahwa bronkitis kronis difus yang disebabkan sekret dari kavitas
menimbulkan kelainan obstruksi
(12)
.
Baum
(13)
, Crofton dan Douglas
(14)
menyatakan bahwa reaksi
hipersensitif terhadap fokus TB atau hasil sampingan kuman TB
yang mati sering tampak berupa perubahan non spesifik yaitu
peradangan yang kadang-kadang jauh lebih luas daripada lesi
spesifiknya sendiri.
Hennes et al
(15)
menemukan bahwa zat anti terhadap ekstrak
paru manusia penderita TB merangsang pembentukan zat anti
terhadap jaringan yang rusak. Pada emfisema mungkin timbul
zat anti terhadap jaringan retikulum paru, yang dapat berperan
penting pada patogenesis emfisema.
Hubungan kelainan obstruksi pada tuberkulosis paru de-
ngan beberapa faktor antara lain umur, jenis kelamin, merokok,
lama sakit, luas lesi telah diteliti oleh beberapa peneliti
(2,6¬11,13)
Pemeriksaan spirometri pada penderita tuberkulosis paru lanjut
di RSUP Persahabatan Jakarta, menyimpulkan bahwa kelainan
obstruksi berhubungan dengan jenis kelamin dan lama sakit,
tetapi tidak berhubungan dengan umur, kebiasaan merokok, luas
kelainan dan distribusi lesi
(9)
. Pemeriksaan perubahan faal ven-
tilasi penderita TB paru yang diobati paduan obat jangka pendek
dengan.tujuan khusus pada gangguan obstruksi di RSUP Persa-
habatan menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan positif
antara derajat obstruksi dan restriksi dengan luas lesi, kelainan
obstruksi pada penderita TB paru maupun bekas TB paru bersifat
ireversibel, dan obstruksi yang ireversibel ini merupakan akibat
proses TB. Pemeriksaan spirometri pada penderita TB paru dan
bekas TB paru dengan lesi minimal dan moderately advanced di
RSTP Cipaganti Bandung mendapatkan sindrom obstruksi difus
pada 46,9% penderita TB paru dan 30% sindrom obstruksi
ditemukan pada lesi minimal; sindrom obstruksi difus mem-
punyai hubungan dengan faktor merokok dan luas lesi dan tidak
mempunyai hubungan dengan jenis kelamin dan lama sakit
(9)
.
Salah satu kemungkinan lain patogenesis timbulnya sin-
drom obstruksi difus pada penderita TB adalah karena infeksi
kuman TB, dipengaruhi reaksi imunologik perseorangan, dapat
menimbulkan reaksi radang nonspesifik luas karena tertariknya
netrofil ke dalam parenkim paru oleh makrofag aktif. Peradangan
yang berlangsung lama ini menyebabkan beban proteolitik dan
oksidasi meningkat dan merusak matriks alveoli sehingga me-
nimbulkan sindrom obstruksi difus yang dapat diketahui dari
pemeriksaan spirometri.
SISTIM IMUNITAS TUBUH
Sistim pertahanan tubuh terdiri atas sistim pertahanan spesi-
fik dan nonspesifik
(16,17)
(Gambar 1).
Gambar 1. Sistem Imun
(16)
Sistim imun nonspesifik merupakan pertahanan tubuh ter-
depan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme,
oleh karena dapat memberikan respon langsung terhadap anti-
gen, sedangkan sistim imun spesifik membutuhkan waktu untuk
mengenal antigen terlebih dahulu sebelum memberikan respon-
nya
(17,18)
.
Paru merupakan salah satu organ tubuh yang mempunyai
daya proteksi melalui suatu mekanisme pertahanan paru, berupa
sistim pertahanan tubuh yang spesifik maupun nonspesifik
(19¬22)
.
Di alveolus makrofag merupakan komponen sel fagosit yang
paling aktif memfagosit partikel atau mikroorganisme(
20,22)
.
Makrofag ini penting dalam sistim imun karena kemampuan
memfagosit serta respon imunologiknya
(20)
. Kemampuan untuk
menghancurkan mikroorganisme terjadi karena sel ini mem-
punyai sejumlah lisozim di dalam sitoplasma. Lisozim ini me-
ngandung enzim hidrolase maupun peroksidase yang merupa-
kan enzim perusak. Selain itu makrofag juga mempunyai resep-
tor terhadap komplemen. Adanya reseptor-reseptor ini me-
ningkatkan kemampuan sel makrofag untuk menghancurkan
benda asing yang dilapisi oleh antibodi atau komplemen
(17,20,21)
.
Selain bertindak sebagai sel fagosit, makrofag juga dapat me-
ngeluarkan beberapa bahan yang berguna untuk menarik dan
mengaktifkan neutrofil serta bekerja sama dengan limfosit dalam
reaksi inflamasi
(20)
.
TUBERKULOSIS PARU SERTA RESPON IMUN
Apabila tubuh terinfeksi hasil tuberkulosis, maka pertama-
tama lekosit polimorfonukleus (PMN) akan berusaha mengatasi
infeksi tersebut. Sel PMN dapat menelan hasil tapi tidak dapat
menghancurkan selubung lemak dinding hasil, sehingga hasil
dapat terbawa ke jaringan yang lebih dalam dan mendapat
perlindungan dari serangan antibodi yang bekerja ekstraseluler.
Hal ini tidak berlangsung lama karena sel PMN akan segera
mengalami lisis
(18)
. Selanjutnya hasil tersebut difagositosis oleh
makrofag. Sel makrofag aktif akan mengalami perubahan meta-
bolisme, metabolisme oksidatif meningkat sehingga mampu
memproduksi zat yang dapat membunuh hasil, zat yang ter-
penting adalah hidrogen peroksida (H
2
O
2
).
Chaparas 1984
(23)
menerangkan bahwa mikobakterium
tuberkulosis mempunyai dinding sel lipoid tebal yang melin-

dunginya terhadap pengaruh luar yang merusak dan juga meng-
aktifkan sistim imunitas. Mikobakterium tuberkulosis yang
jumlahnya banyak dalam tubuh menyebabkan :

Penglepasan komponen toksik kuman ke dalam jaringan

Induksi hipersensitif seluler yang kuat dan respon yang
meningkat terhadap antigen bakteri yang menimbulkan kerusak-
an jaringan, perkejuan dan penyebaran kuman lebih lanjut.

Akhirnya populasi sel supresor yang jumlahnya banyak
akan muncul menimbulkan anergik dan prognosis jelek.
Perjalanan dan interaksi imunologis dimulai ketika makro-
fag bertemu dengan kuman TB, memprosesnya lalu menyajikan
antigen kepada limfosit. Dalam keadaan normal, infeksi TB
merangsang limfosit T untuk mengaktifkan makrofag sehingga
dapat lebih efektif membunuh kuman. Makrofag aktif melepas-
kan interleukin-1 yang merangsang limfosit T. Limfosit T me-
lepaskan interleukin-2 yang selanjutnya merangsang limfosit T
lain untuk memperbanyak diri, matang dan memberi respon
lebih baik terhadap antigen. Limfosit T supresi (TS) mengatur
keseimbangan imunitas melalui peranan yang komplek dan
sirkuit imunologik. Bila TS berlebihan seperti pada TB progresif,
maka keseimbangan imunitas terganggu sehingga timbul anergi
dan prognosis jelek. TS melepas substansi supresor yang
mengubah produksi sel B, sel T aksi-aksi mediatornya.
Mekanisme makrofag aktif membunuh hasil tuberkulosis
masih belum jelas, salah satu adalah melalui oksidasi dan pem-
bentukan peroksida. Pada makrofag aktif, metabolisme oksida-
tif meningkat dan melepaskan zat bakterisidal seperti anion
superoksida, hidrogen peroksida, radikal hidroksil dan ipohalida
sehingga terjadi kerusakan membran sel dan dinding sel, lalu
bersama enzim lisozim atau medoator, metabolit oksigen mem-
bunuh hasil tuberkulosis. Beberapa hasil tuberkulosis dapat
bertahan dan tetap mengaktifkan makrofag, dengan demikian
hasil tuberkulosis terlepas dan menginfeksi makrofag lain.
Diduga dua proses yaitu proteolisis dan oksidasi sebagai
penanggungjawab destruksi matriks
(24)
. Komponen utama yang
membentuk kerangka atau matriks dinding alveoli terdiri dari :
kolagen interstisial (tipe I dan II), serat elastin (elastin dan
mikrofibril), proteoglikaninterstisial, fibrokinetin. Kolagen adalah
yang paling banyak jumlahnya dalam janingan ikat paru
(24)
.
Proteolisis berarti destruksi protein yang membentuk
matriks dinding alveoli oleh protease, sedangkan oksidasi ber-
arti pelepasan elektron dani suatu molekul. Bila kehilangan
elektron terjadi pada suatu struktur maka fungsi molekul itu
akan berubah. Sasaran oksidasi adalah protein jaringan ikat, sel
epitel, sel endotel dan anti protease.
Sel neutrofil melepas beberapa protease yaitut
(24,25)
:
1)
Elastase adalah yang paling kuat memecah elastin dan
protein janingan ikat lain sehingga sanggup menghancurkan
dinding alveoli.
2)
Catepsin G menyerupai elastase tetapi potensinya lebih
rendah dan dilepas bersama elastase.
3)
Kolagenase cukup kuat tetapi hanya bisa memecah kolagen
tipe I, bila sendiri tidak dapat menimbulkan emfisema.
4)
Plasminogen aktivator yaitu urokinase dan tissue plasmin
aktivator merubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin selain
merusak fibrin juga mengaktifkan proenzim elastase dan bekerja
sama dengan elastase.
Oksidan merusak alveoli melalui beberapa cara seperti
(25)
:
a)
Peningkatan beban oksidan ekstraseluler yang tinggi, secara
langsung merusak sel terutama pneumosit I.
b)
Secara langsung memodifikasi jaringan ikat sehingga lebih
peka terhadap proteolisis.
c)
Secara langsung berinteraksi dengan 1-antitripsin sehingga
daya antiproteasenya menurun.
Tuberkulosis paru merupakan infeksi menahun sehingga
sistim imunologis diaktifkan untuk jangka lama, akibatnya be-
ban proteolisis dan beban oksidasi sangat meningkat untuk
jangka yang lama sekali sehingga destruksi matriks alveoli
cukup luas menuju kerusakan paru menahun dan gangguan faal
paru yang akhirnya dapat dideteksi secara spirometri.
KESIMPULAN
Patogenesis sindrom obstruksi difus pada penderita TB paru
yang kelainan obstruksinya menuju terjadinya sindrom obstruksi
pasca TB (SOPT), sangat kompleks; kemungkinannya antara
lain :
1)
Infeksi TB dipengaruhi oleh reaksi imunologis perorangan,
sehingga dapat menimbulkan reaksi peradangan nonspesifik
yang luas karena tertariknya neutrofil ke dalam parenkim paru
makrofag aktif.
2)
Akibatnya timbul destruksi janingan paru oleh karena pro-
ses TB.
3)
Destruksi jaringan pant disebabkan oleh proses proteolisis
dan oksidasi akibat infeksi TB.
4)
TB"paru merupakan infeksi menahun sehingga sistim
imunologis diaktifkan untuk jangka lama, akibatnya proses.pro-
teolisis dan oksidasi sangat meningkat untuk jangka lama se-
hingga destruksi matriks alveoli terjadi cukup luas menuju ke-
rusakan pant yang
,
menahun dan mengakibatkan gangguan faal
pant yang dapat dideteksi secara spirometri.
SARAN
Untuk mengetahui apakah pada sindrom obstruksi ditemui
peradangan kronis maka penulis menyarankan pemeriksaan
hipereaktifitas bronkus.
KEPUSTAKAAN
1. Gaensler EA, Lindgren I. Chronic bronchitis as an aetiologic factor in
obstructive emphysema. Am. Rev. Resp. Dis. 1959; 80: 185.
2. Martin CJ, Haller WY. The diffuse obstructive pulmonary syndrome in a
tuberculosis sanatorium. II: incidence and symptoms. Ann. Intem. Med.
1961; 54: 1156.
3. Bromerg PA, Robin ED. Abnormalities of lung function in tuberculosis.
Adv. Tuberc. Res. 1963; 12: 1¬27.
4. Vargha G, Bruckner P. Study of relationship between cavity and
obstructive ventilatory syndrome in tuberculosis. Am. Rev. Respir. Dis.
1964; 89: 830¬4.
5. Tanuwijaya BY. Sindrom obstruktif difus pada tuberkulosis paru. Kum-
pulan Makalah Ilmiah Simposium Penyakit paru obstruktif menahun.
54¬65.
6. Lancaster IF, Thomashefski IF. Tuberculosis ¬ a cause of emphysema.
Am. Rev. Respir. Dis. 1963; 87: 435.

7. Malik SK, Martin CJ. Tuberculosis, corticosteroid therapy and pulmonary
function. Am. Rev. Respir. Dis. 1969; 100: 13.
8. Snider GL, Doctor L, Demas TA, Shaw AR. Obstructive airways disease in
patient with treated pulmonary tuberculosis. Am. Rev. Respir. Dis. 1971;
103:
625.
9. Tanuwiharja BJ. Pemeriksaan spirometri pada penderita TB paru lanjut di
RS. Persahabatan Jakarta. Naskah Konas IDPI II, Surabaya, 18-20 Juni
1980. p. 77¬84.
10. Sardikin Giriputro. Perubahan faal inhalasi penderita TB paru yang diobati
pada jangka pendek dengan tinjauan khusus pads gangguan obstruktif.
Tesis: Bag. Pulmonologi FKUI, 1989.
11. Bell JW. Experimental pulmonary emphysema. Production of emphyse-
matous bullae in the rabbit by infection with tuberculosis. Am. Rev. Tuberc.
1958; 78: 848¬861.
13. Baum GL. Textbook of Pulmonary Disease. Boston: Little Brown and
Company. 2nd ed., 1974; p. 263.
15. Hennes AR, Moore MZ, Carpenter RL, Hammarsten IF. Am. Rev. Respir.
Dis. 1961; 83: 354.
16. Kamen GB. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1988: 1¬72.
17. Siti BK. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi ke 2.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1991.
18. Bellanti JA. Immunology II. Asian ed. Tokyo:lgaku Shoin Ltd. 1978 :
355¬87.
19. Reynolds HY. Normal and Defective Respiratory Host Defenses. In:
Respiratory Infections: Diagnosis and Management. Penington JE eds. 2nd
ed. New York: Raven Press. 1989: 1¬33.
20. Harada RN, Repine M. Pulmonary host defense mechanism. Chest 1985;
87:
247¬52.
21. Daniela RP. Immune Defenses of the Lung. In: Pulmonary Disease and
Disorders. Fishman AP eds. 2nd ed. New York: Mc Graw Hill Book Co.
1988:
589¬98.
22. Murray JF. Defence Mechanism. In: The Normal Lung: The Basic for
Diagnosis and Treatment of Pulmonary Disease. 2nd ed. Philadelphia:
WB. Saunders Co. 1986: 313¬39.
23. Chaparas SD. Tuberculosis Immunology. Asian Pacific J. Allerg. Immu-
nol. 1984; 2: 126.
24. Hubbard RC, Crystal RG. Antiproteases and antioxydant: Strategies for the
pharmacologic prevention of lung destruction. Respiration 1986; 50(Suppl.
1) : 56.
25. Campbell EJ, Senior RM, Welgus HG. Extracellular matrix injury during
lung inflammation. Chest 1987; 92: 161.

Tidak ada komentar:

Logo LENSA Komunika